Over. - Jurnal



I was scrolling on my beloved tumblr, till found a quote that succesfully inspire me to write this journal




How do you know when it’s over?”
            “Maybe when you feel more in love with the memories than the person standing in front of
            you.”
            -thepersonalquote- quoted a quote of a book.


Satu bulan kemarin, Aku pulang.
Belajar memang penat. UAS dan segala tetek-bengeknya membuatku ingin rehat walau hanya sejenak. Aku pikir, liburan pun pastilah berat. Karena 20 orang itu harus kerja giat agar bisa membantu mengantarkan mimpi ratusan siswa untuk masuk menjadi bagian dari kampus yang mereka tempati.

Pun, Aku dihadapkan pada ketidakpastian. Berbagi inspirasi pada mereka, mengukir senyumnya, bahkan memberi goresan semangat perjuangan. Padahal di sisi lain, diri ini saja tak tahu apa yang akan dihadapinya kelak. Antara melanjutkan atau kembali pulang.

Terkadang Aku hanya ingin hilang, walau bukan berarti ingin dicari.

Menyusuri lorong sekolah, seolah-olah kembali ber-sekolah. Membawa ingatan remangku setelah beberapa bulan tak bertamu.  Bersama dua orang teman, Aku antar mereka ke Aula. Katanya Aku hebat. Baik siswa maupun guru, masih bertegur sapa dan saling melempar salam kepadaku.
“Aah.. emang kuduna atuh.” (Tl : Aah.. memang seharusnya gitu)

Sedari kejauhan—teras kelas –  ia tak sengaja menoleh dan tergesa segera kembali.


                        Sudah berapa lama sejak hari itu?


            Ia memang dingin. Tapi saat bersua, media-media besar harus segera mewartakan berita, bahwa es dunia sedang mencair. Mereka yang terlalui khatulistiwa sudah pasti terkena dampak yang lebih daripada biasanya. Maksudku.. terlampau hangat.
            Teringat dulu, saat mengenakan pakaian putih biru. Berdialektika awalnya sebatas untuk kepentingan organisasi. Ia membantu dalam segala pekerjaanku. Kinerjanya sangat baik. Segala yang ditugaskan tuntas. Hingga saat beranjak kelas, sebagian perlahan lepas. Bukan hanya Aku, melainkan kami pun merasakan hal yang sama. Tapi baiklah. Setiap orang berhak menjalani kehidupan dengan caranya masing-masing.
            Semasa putih abu, seolah me-reka cerita semasa dulu ber-baju putih biru. Kembali bisa berkomunikasi melalui organisasi. Hingga suatu ketika, saat itu malam minggu menjelang maghrib. Kami berkumpul ria di sekolah. Saling menjawab harmonis. Satu pertanyaan yang dilontarkan, dijawab dengan penuh riang. Namun.. jawabannya diselimuti seribu pertanyaanku yang lain. Walaupun begitu, senang saat ia mengakui sesuatu yang bahkan sebenarnya tak perlu diutarakan. Dan saat itu, tempat itu menjadi saksi bisu tepat saat dia tergesa kemarin.

            Hari berganti. Berbagi cerita di sekolah-sekolah. Percobaanku ialah, bila Aku memulai sesuatu dengan hal yang membosankan, maka tidak ada seseorangpun yang mendengar. Ternyata Arya benar. Kita harus menyampaikan apa yang ingin orang lain dengar, bukan pada apa yang ingin kita sampaikan. Bila sebatas mengenalkan kampus, itu biasa. Tapi bila disangkut-pautkan dengan apa yang ingin telinga mereka dengar, ternyata, sekalipun siswa yang semula acuh, malah berbalik membenarkan kursi dan mendekat seakan ingin mengetahui pada apa yang akan aku sampaikan. Hal inilah yang mungkin akan kupegang kedepannya.

             Dari dinding ke dinding, tiba saatnya harus menghadapi dinding terbesar. Empat penjuru dinding menjadi saksi. Antara senang bisa bertatap muka kembali, dan sedih bahwa melupakan itu salah satu ujian yang cukup berat. Usahaku berbulan-bulan menahan diri, pada akhirnya roboh.

            Saat itu, aku kalah telak.  
            Tempat itu memang istimewa. Ia kembali menjadi saksi bisu betapa kalahnya aku dalam berjuang—untuk melupakan. Time freeze. Suasana hening. Kami berjarak cukup jauh namun saling menghadap. Seketika seolah-olah jurus Bartolomeo muncul.

            “.. ikut *acara* nanti ya..!” ucapku sambil melambaikan tangan.. dan tersenyum lebar.
                        Aih, ngapain juga coba. Ah toh untungnya ada barrier sih. No one see, nah?

            “..iya..” angguknya anggun.
 Aku tersentak. Kami berbalik badan saling meninggalkan.

            Ternyata, diabetes itu proses alami, ya.

            Menenangkan pikiran, Aku pergi ke luar daerah—tepatnya Bangka dan Belitung. Meski hanya sekian hari, pikiran seolah-olah aku kembali baru. Alam memang menyediakan panorama terbaik. Aku juga belajar banyak hal. Bila dunia me-riset Indonesia sebagai negara yang dikatakan “sering senyum”, maka mungkin riset tersebut tak lagi diperlukan. Sini, biar pakai riset empirik milikku saja! Percayalah! Dimanapun kamu berdiri—selama tempat berdirimu ibu pertiwi—maka keramahan warga Indonesia akan selalu membuatmu rindu sepanjang masa.

            Tasik juga tak kalah bikin kangen! Padahal cuma empat hari. Tapi suasana Tasik emang tiada duanya sih. Wajar kali ya, adem iyaaa, yang bikin adem juga ada.

            Baru sampe Tasik, harus siap-siap lagi roadshow sekolah. Penat sih, tapi penatnya itu rasanya hilang saat berdialektika. Manusia sebagai makhluk sosial itu memang ungkapan yang tepat. Toh, malah aku sendiri juga belajar dari mereka. Ini bukan lagi tentang siapa pembicara, yang dibicarakan, dan siapa pendengarnya. Selama semua sepakat bahwa belajar itu sepanjang masa, maka tak perlu lagi ada perdebatan. Karena menurut seorang anonim pun,

“Manusia itu tolol bila merasa sudah pintar dan tak perlu belajar lagi.”

Kalau kamu adalah pembaca setia jurnal ini, maka kamu mungkin ingat beberapa tulisanku di postingan yang dulu. Bahwa ada penyesalan yang masih menggumpal. Karena sampai saat inipun, aku masih dibayang-bayangi oleh secerca kalimat “terima kasih” yang tak kunjung terucap. Maksudku, ingin rasanya mengucapkan terimakasih pada mereka yang telah mengubah monokromku menjadi gradasi warna-warni nan merona. Namun sayangnya, hal itu tak kunjung terlaksana.



Bila digambarkan melalui garis, maka mungkin kisah ini tak seperti tangent lines. Pernah bertemu sekali, lalu menghilang lagi entah kemana. Apalagi parallel lines. berjalan searah, memandang langit yang sama, namun tak pernah saling bertatap muka. Mungkin agaknya, Asymptote dan Crossed lines menjadi  analogi yang pantas. Asymptote dengan gagahnya memperlihatkan, bahwa mungkin kedua orang pernah saling dekat dan terus mendekat.
Closer and get closer.. but...
            ...never be together.





Crossed Lines juga memang tak jauh berbeda dengan Tangent Lines. Bedanya, Crossed Lines memiliki cerita yang lebih memilukan. Bertemu sekali, dan berjarak saling terus menjauh setelahnya.

Tabu memang bila mengatakan, bahwa  jarak adalah sebuah penghalang. Katakan padaku, bahwa itu adalah sebuah kebohongan, teman. Percaya padaku mengenai definisi jarak yang telah ku-ulas beberapa waktu yang lalu.

“Jarak terjauh kedua insan, ialah ketika mereka saling berpunggungan”
Mengapa? Karena kamu perlu untuk mengitari bumi hanya untuk saling bertatap muka.

Yang akan menjadi titik kunci ialah pertemuan itu sendiri. Meski hanya bertemu sekali, maka pastikan pertemuanmu itu berkesan. Ingat kutipan kemarin?

“Karena lama waktu belum tentu memberikan kesan terbaik”
Bila sekali pertemuanmu itu berkesan, menggoreskan tinta kenangan yang padu saat kelak kamu mengingatnya kembali, maka perkenankan aku untuk mengucapkan selamat. First phase, You will realize how precious things are. Then, you will realize that people come and go. But later you will know who are still standing beside. And finally, you will be falling because of the memories rather than the person. Sometimes you don’t wanna see someone. Maybe, it because the memories you have made. Even the person you are talking about is beautiful, handsome, smart, et cetera. at some point, you don’t have a face to look for. All you want to do is lower your head, hoping that time passes faster. And after they just  passed in front of you, ...
... you had a deep regret.
Because you couldn’t even deliver the last words you have been prepared before.

Liburan panjang pertama ini, aku sungguh menyayangkan –meski tak menyalahkan—waktu. Aku libur, disaat teman-teman sebayaku telah memulai semester dua. Rumahku yang biasa dijadikan basecamp pun, tak selengkap dulu. Tapi setidaknya, nasgil jagal bareng, jalan bareng, saling nraktir, sharing kuliah, dan lain sebagainya mungkin lebih dari cukup sebagai pelipur lara. Memang lengkap itu lebih baik.  Tapi memanfaatkan kekurang-lengkapan dengan baik itu juga tak kalah baiknya. Apakah perangai teman-temanku ada yang berubah? Tentu ada. Walaupun begitu, saat bersua, kami kembali seperti dahulu. Lebih tepatnya, kami kembali memutar memori sedari lima tahun yang lalu. Saat hobi dan seseorang membuat kami bersatu. Hobi? Wah banyak. Cosplay iya, jeketi-an iya, ngaskus iya sampai pokoknya yang nyebarin virus vvibu sekolah kami dulu, ya kami salah satunya. Dan kamu tahu seseorang itu siapa? Temukan namanya di logo yang pernah kami cantumkan.

Saat itu kami memang capek. Dua puluh banding ratusan membuat kami kewalahan. Tapi saat melihat paras penuh semangat mereka, kami teringat kembali,  bahwa jiwa saiya ada pada darah kami. Semakin terdesak, maka semakin kuat.

Tiga jam berlalu. Aku berjalan di koridor. Bertemu mereka yang baru selesai mengerjakan tes. Ada yang menggerutu pusing, ada yang lega, bahkan ada yang keliatan optimis. Jika online seller membutuhkan testimoni / feedback untuk masukan bagi dirinya, maka tak keliru juga dong bila panitia melakukan hal yang sama? Jadilah saat itu dua telinga ini menjadi pendengar setia mereka.

Saat itu aula sesak oleh ratusan peserta. Dua jam sudah gelap menemani derapan langkah kaki yang menggema. Acara memang sedang tak karuan.  Namun saat itu diri bersikukuh mencari sosok yang hilang di antara bayang-bayang. Terkadang, gerigi putih menyiratkan sinar yang terpolarisasi menjadi cahaya yang terang. Menurutku, itu dosis yang cukup efektif untuk melepaskan tekanan. Rasa penat ini membuatku ingin duduk walau hanya sejenak. Bak gula yang terjatuh dari meja, seraya semut datang berkoloni hendak memangsa sang gula. Gula pasrah. Katanya, ia lebih baik terlelap bermanfaat daripada terlepas bebas.

Di penghujung masa, perlahan gemerlap ter-asingkan oleh tirai jendela yang tersibak. Saat itu roulette sempat-sempatnya menjadi kanal komunikasi. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah dari permainan yang sederhana. Terkadang terbesit, ternyata barang juga bisa menyimpan kenangan. Barangkali, mereka ingin meninggalkan jejak melalui barang yang mereka dapatkan.

Di masa-masa terakhir, temanku memutuskan untuk memberi seluruh hadiah meski mereka tak memenangkannya. Saat itu, tangan berfungsi sebagaimana mestinya. Prinsip ekonomi yang mengatakan bahwa insentif bisa merangsang sesuatu untuk bertindak, maka kurasa mungkin inilah salah satu contohnya. Tangan mereka seraya menyambar hadiah yang mungkin tak seberapa.

Tahukah kamu? Ia mendapatkan barang – yang kemudian sering aku bawa setiap harinya. Bagiku, biarlah barang ini menjadi pengingat, bahwa aku masih memiliki hutang yang belum kunjung aku lunasi.  

Setelah itu, kami berpisah.

Saat itu, untaian kata yang telah kupersiapkan sejak lebih dari empat tahun lalu pada akhirnya lagi-lagi tak bertuan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.