Epilog #RefleksiDuaDekade



Epilog  – #Refleksi2Dekade

Bagian terakhir #RefleksiDuaDekade


Bagian Pertama #RefleksiDuaDekade : Prolog #RefleksiDuaDekade

Bagian Kedua #RefleksiDuaDekade : Perdana #RefleksiDuaDekade

Bagian Ketiga #RefleksiDuaDekade : Momentum #RefleksiDuaDekade

Bagian Keempat #RefleksiDuaDekade : Pilihan #RefleksiDuaDekade

Bagian Kelima #RefleksiDuaDekade : Impian #RefleksiDuaDekade

~


The key to happiness is letting every situation just be what it is,

instead of what you think how it should be –anonim

 


Andaikan kamu bertanya tentang apa pelajaran yang paling berkesan setelah saya hidup selama dua dekade terakhir, maka saya rasa jawabannya jelas:


Menyederhanakan pikiran di tengah dunia yang kian kompleks.

~


Semakin dewasa saya, saya kian menyadari bahwa realita tidak selalu sejalan dengan apa yang saya harapkan. Saya juga menyadari bahwa hidup menuju dua dekade adalah fase-fase klimaks selama kehidupan saya. Antara memberi pelajaran atau menjadi ujian, nyatanya berdiri di titik puncak tidak selamanya dapat mendefinisikan rasa nyaman.


               Duduk di bangku perkuliahan yang katanya jadi perguruan tinggi prestisius karena selalu memiliki ratusan ribu pendaftar tiap tahunnya tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya. Mengapa tidak? Karena di tahun pertama saya kuliah, saya mendapati fakta bahwa teman-teman kelas saya merupakan jebolan perguruan tinggi unggulan di Indonesia – yang entah memang keinginan pribadi atau mungkin kehendak orang tua – rela melepas hasil kerja kerasnya setelah melalui ketatnya seleksi perguruan tinggi, semata-mata demi mengemban amanah menjadi Penggawa Keuangan Negara nantinya. Ironi? Bisa jadi. Karena dari sekian banyak orang yang telah saya ajak ngobrol, tak sedikit dari mereka yang bilang bahwa menjadi mahasiswa Bintaro berarti menguburkan impian yang pernah mereka cita-citakan sebelumnya.

~

               Saya mengawali kehidupan perkuliahan dengan mengikuti berbagai kepanitiaan. Andri Tanuwijaya dan Muhammad Chadziq Khoiruddin adalah dua mentor pertama saya di Kampus Ali Wardhana. Yang satu jadi Liaison Officer di kompetisi seni nasional, satu lagi panitia dokumentasi Kurban di kegiatan keagamaan. Keduanya jelas mengajarkan saya banyak hal. Yang satu mengajarkan saya pengelanaan perdana menemui mahasiswa di kampus-kampus Jakarta, sedangkan satu lagi mengajarkan saya bagaimana caranya berinteraksi dengan masyarakat di sekitar kampus tempat saya menimba ilmu. Kedua pengalaman itulah yang akhirnya menghantarkan saya untuk menjelajahi kompleksnya dunia perguruan tinggi.


               Dari rumah ke rumah, pengalaman itu akhirnya mengantarkan saya pada suatu pencapaian dengan lebih dari puluhan kepanitiaan dan organisasi tanpa ada penolakan.

 

Tenggelam dalam Oase Apresiasi

                Pada semester pertama dan kedua, saya menjajaki berbagai organisasi, tiga hingga lima kepanitiaan setiap bulannya, dan aktif mengikuti berbagai kegiatan yang dihelat di kampus. Pada saat itu, sebagian besar peran yang saya jalani saat itu adalah menjadi tim kreatif/HPD – atau lebih dikenal dengan ‘kang disen’ dan ‘kang edit vidio’. Banyak apresiasi yang saya terima dari karya-karya yang saya buat. Baik disampaikan secara langsung, atau komentar di media sosial dari orang-orang yang bahkan tidak saya kenal sebelumnya. Padahal kalau dipikir-pikir, saya tidak memiliki insting kreatif sesumbar orang lain katakan. Saya juga tidak bisa menggambar tangan. Saya hanya memahami bagaimana cara mengoperasikan alat desain grafis/aplikasi vidio. Disen yang saya buat juga gitu-gitu saja. Tak ada hal yang istimewa. Namun, apresiasi-apresiasi yang saya dapatkan seolah-olah membawa saya to a whole new world – yang kemudian, kelak hal tersebut justru menjerumuskan saya pada seburuk-buruknya dunia tempat saya berpijak.


               Menulis jurnal ini, saya mengulang kembali materi Pengantar Ilmu Manajemen mengenai Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow yang pada intinya menggagas tingkat kebutuhan hidup manusia dari mulai kebutuhan dasar (fisiologis) hingga kebutuhan untuk aktualisasi diri. Pada tingkatan keempat, Maslow menyebutkan bahwa manusia membutuhkan harga diri yang salah satunya terdiri dari kepercayaan diri dan apresiasi dari orang lain. Sejalan dengan hal ini, saya pernah mengalami fase di mana apresiasi dari orang lain menjadi daya pengungkit yang membuat hari – hari saya kian semangat. Hingga pada suatu titik tertentu, saya juga pernah mengalami masa di mana apresiasi dari orang lain justru membuat saya digdaya dan menatap orang rendah serta mengutuk mereka dalam diam dengan, “Sesibuk apa sih sampai nugas kelompok enggak kelar-kelar?”.


               Padahal, kita benar-benar tidak tahu kondisi sebenarnya mengapa seseorang melakukan hal itu – katakan, menunda-nunda pekerjaannya. Entah ada masalah dalam keluarganya, kesehatannya, atau mungkin sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Asumsi-asumsi liar yang sering kita buat sendiri seolah-olah menjadi justifikasi bahwa apa yang kita pikirkan adalah benar tanpa berani sekalipun melakukan klarifikasi.


               Di sisi  lain, tak jarang pula kita sering menonjolkan dan mengglorifikasi seluruh agenda yang kita miliki serta mengunggahnya dalam bingkai ‘Instagram Stories’ beserta tetek-bengek caption manis, mengklaim diri sebagai aktivis elitis yang kritis, namun bersikap skeptis saat diberi advis. Lalu acuh dan melanjutkan kembali peran kita sebagai artis, seolah-olah menunjukkan bahwa kitalah orang yang paling dinamis dan altruis.  Padahal bisa saja sebaliknya. Bisa saja, orang lain mengecap kita sebagai orang yang statis dan apatis, ikut acara hanya sekadar menjadi pemanis, melanggar komitmen dengan egois, dan pada akhirnya peran yang kita mainkan tak lain hanyalah sebagai seorang antagonis.


               Sungguh, tenggelam – dan menenggelamkan diri – dalam oase apresiasi hanya akan menuntun kita menuju tempat seburuk-buruknya berpijak.

 


Berjuang di Titik Nadir.

                    Pernahkah kamu melewatkan satu kesempatan hanya dengan satu kedipan mata?

              

Hari itu Rabu, 6 Februari 2019. Hari yang cerah untuk melakukan perjalanan panjang.


Sekitar pukul 8 pagi, ayah mengajak saya, ibu, dan kakak untuk pergi silaturahim ke rumah nenek yang berada di luar kota. Jujur saja, perasaan saat itu benar-benar tidak menentu karena tempo hari sebelumnya telah melakukan rangkaian aktivitas yang sangat melelahkan. Selain telah mengunjungi berbagai sekolah, aktivitas desain dan publikasi yang menyita waktu malam dengan hanya mengandalkan satu orang saja jelas membuat saya lelah saat itu.


Sekitar pukul setengah 12 siang kami—ayah dan ibu, saya dan kakak mengendarai motor yang berbeda—memulai pemberangkatan. Banyak hal yang tak biasa terjadi, seperti kehendak ayah yang ingin berangkat lebih cepat sebelum adzan dzuhur berkumandang, keinginan saya agar berhenti sejenak di perempatan Jagal sekadar untuk memindahkan HP yang berada di saku celana, untuk kemudian saya titipkan kepada kakak yang duduk di belakang saya, serta ayah dan ibu yang mengendarai kendaraannya lebih dahulu padahal biasanya saya mengendarai kendaraan duluan – yang kemudian belakangan saya sadari bahwa mereka mengisi bensin terlebih dahulu, sehingga justru posisi mereka yang tertinggal di belakang.


Adalah ngantuk, asal-muasal dari masa titik nadir itu.


Ya, kamu enggak salah. Titik nadir, titik terendah di masa dua dekade yang saya alami itu, disebabkan hanya karena ngantuk.


Hingga kini, saya masih mengingat jelas manakala kakak saya mengingatkan,”Di kalau mau nyalip jangan dari kiri.” dan “kalau ngantuk mending berhenti dulu di Alfamart.” saat tengah mengendarai motor. Saya yang saat itu ingin sesegera mungkin sampai tujuan agar bisa melampiaskan hasrat ingin tidur, tentu mengabaikan titah itu. Kecurigaan kakak saya nampaknya kian memuncak saat  kendaraan yang kami tumpangi terasa berjalan tidak teratur, kadang lurus, kadang ke kiri, dan kadang lurus kembali—semua karena saya mengendari motor sambil mengantuk nan setengah sadar. Bahkan pada persimpangan jalan tertentu sebelum titik kecelakaan, saya benar-benar terlelap dalam tidur. And guess, that’s the worst thing.  


“DI AWAS NABRAK!” bentak kakak sambil menepuk keras pundak, membangunkan saya dari lelap yang berkesudahan.


In the Blink of Eyes. Dalam satu pejaman mata, dengan jarak kurang dari satu meter, dengan speedometer masih di garis 30-40 kilometer per jam, saya terbangun. Menyibak pejaman mata dan sekejap menarik tuas kupling beserta rem depan secara bersamaan.


~

Do you want to know what did i exactly feel?

Gelap gulita, tidak pernah saya merasa setenang itu sebelumnya.

Dalam situasi genting kala itu, saya hanya berpikir,

”Ternyata gini ya rasanya kecelakaan”.

~

 

               “AHH!”

Begitu kata pertama yang saya teriakkan sesaat setelah setengah sadar dengan posisi bagian atas tubuh tersangkut di mobil pickup, sedangkan tubuh bagian bawah menyosor jalan raya. Saya hanya berharap agar ada orang yang menarik saya keluar dari himpitan itu sekaligus menyadarkan saya sepenuhnya. Karena pada saat itu, saya bahkan tak sanggup bergerak sedikitpun.


Saat saya berteriak, kakak terbangun dalam pingsannya, turun dari mobil pickup yang saya tabrak dan sesegera memberi titah pada tiga warga yang menolong saya seraya berucap,” Buka helmnya!”. Dan disaat yang bersamaan, dari jauh saya dengar ayah berteriak, “Eta si Adi, Eta si Adi! (itu si Adi)”. Entah mengapa, hanya suara keluarga saja yang terdengar saat itu. Kerumunan warga yang menolong bahkan seolah - olah tak terdengar dengus nafasnya.


Dibantu tiga warga, saya diangkat dan dibawa ke tepi jalan. Dilepas helm, dan meneguk beberapa tetes air mineral. Dengan sigap, ayah meminta mobil yang saya tabrak agar sudi mengantarkan saya ke rumah sakit terdekat. Untungnya, pengemudi mobil itu baik. Beliau berkenan ditumpangi meski kendaraannya telah saya tabrak.


Sakit? Enggak sama sekali

Tidak sedikitpun saya meraung kesakitan.

Bahkan, hampir tak pernah saya merasa setenang itu sebelumnya – meski sempat lemas melihat bentuk tangan yang patah dan sudah tidak lagi beraturan.

 

Sebagai seseorang yang belum mempersiapkan kematian, setidaknya saya enggan bungkam dan menutup usia tanpa seutas pesan. Oleh karena itu, segera setelah saya melewati proses pemeriksaan pertama di rumah sakit, voice note LINE menjalankan perannya sebagai kanal penghubung saya dengan teman-teman satu kelas. Tidak banyak hal yang sampaikan, melainkan sekadar mengingatkan mereka agar jangan pernah melupakan ibadah, sebagaimana penyesalan yang saat itu tengah saya alami.

 

Hikmah

Rumah sakit itu menjadi saksi bisu besarnya syukur yang tak dapat terukur.


Selain karena kehangatan keluarga yang fulltime berada di samping saya, kehadiran teman sebaya, adik kelas, guru, dan staf SMA yang berkunjung ke rumah sakit jelas menambah rasa syukur saya saat itu. Bagi saya, kehadiran mereka sangat berharga. Berbicara dengan mereka jauh berkhasiat melupakan rasa sakit daripada obat anestesi itu sendiri. Kalau saja saya kuat, saya mungkin mengeluarkan tangan dari tandu dan sesegera mungkin memeluk mereka satu persatu. Sayangnya saya lemah fisik dan batin. Kalau sekadar mengayunkan tangan sedikit, mungkin saya kuat. Saya hanya tak kuasa menahan air mata setelah melepas pelukkan dengan mereka. Itu saja.


Bahkan, satu minggu setelah saya pulang ke rumah dan menghadapi dilema antara memilih untuk melanjutkan atau cuti dari studi, beberapa teman kelas saya datang sekonyong-konyong dari Bintaro, menyewa kendaraan satu malam seusai pulang kelas, berjalan mengandalkan google maps dan tersesat berulang kali di perjalanan, penuh sukarela berkunjung hanya demi menemui jiwa yang rapuh ini. Sungguh, karena kedatangan mereka, akhirnya saya mantap memutuskan akan kembali ke perantauan. Coba, siapa orang yang tak terharu memiliki kawan – kawan hebat seperti mereka? Kapan lagi bisa ketemu orang seperti mereka? Dan kalaupun kamu melanjutkan studi tahun berikutnya, emang yakin bakal ketemu orang – orang seperti mereka (lagi)?


Mungkin terdengar kekanak-kanakan, tapi tidak apa-apa. Kalau urusan mengucapkan terima kasih, saya tidak mau berkompromi dengan ego. Kamu mungkin tidak mengenal siapa saja yang saya sebutkan di sini. Tapi biarkan nama itu terukir abadi di jurnal ini, sebab ketahuilah, mereka menjadi salah satu alasan saya tetap hidup hingga saat ini. 


TERIMA KASIH Bapak Aep, Mang Dadang, Gilang dan Mamanya, Rangga, Putra, Obos, Syarip, Indra, Emip, Cebe, Doco, A Firman, Mahar, Nova, Dendi, Wanda, Panji, Doyon, Ginna, Rima, Hilmi, Bon2, Ikhsan, Hafizh (& Gtech), Ayaz, Azzas, Haula,  Seno, Aldi, Meza, Tasya, Mus, Tiko & Kapten – beserta seluruh insan-insan hebat yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, yang juga menyampaikan kasih sayangnya via media sosial.


 

18 Februari 2019.

“DETEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE”


Langkah kaki pertama saya di perantauan disambut hangat oleh teman-teman dan dosen Hukum Keuangan Negara. Saya yang tersipu malu, segera melapor ke dosen sembari tergopoh-gopoh mencari tempat duduk yang masih kosong. Bak artis yang keluar dari kendaraannya, saya tak henti-hentinya disapa dan diwawancarai oleh beberapa teman saya dengan penuh khawatir dan penasaran tentang kejadian kemarin. What a warm welcome!


Menjadi sosok yang memiliki kekurangan fisik mulanya membuat saya berpikir untuk mengurangi aktivitas kampus dan hanya fokus di ranah akademis. Tapi kenyatannya justru sebaliknya. Ada hal yang membuat saya terpaksa turun tangan mengambil alih keadaan dan ada pula beberapa tawaran yang berhasil merobohkan prinsip serta menggerakkan hati kecil saya untuk menerima tawaran-tawaran itu. Haduuu. Enggak enakan emang bener-bener bikin nggak enak!


~

Terselip banyak hikmah yang patut saya syukuri dari fase nadir ini. Saya belajar banyak hal mengenai kasih sayang dari mulai hal yang sederhana. Dibuka-i tutup botol air minum oleh orang asing, dibantu mengganti perban hingga dipakai-kan tas oleh teman – teman saya adalah sebagian contoh kasih sayang yang saya rasakan. Saya tak terlalu memusingkan vonis dokter untuk tidak lagi melakukan hal – hal melelahkan seperti push-up atau lainnya. Saya juga tak terlalu memusingkan tatapan sinis atau iba orang lain terhadap penampilan saya. Karena bagi saya, titik nadir ini justru menjadi sebuah wake-up call untuk senantiasa bersyukur atas setiap nafas yang saya hembuskan.


Bukankah begitu?

Bukankah Allah Swt. akan menambahkan rezeki bagi mereka yang senantiasa bersyukur?

 


Memaknai Kebersamaan.

Siapa yang mengira virus yang entah datangnya dari mana, sekonyong-konyong mengubah takdir dan cara berkehidupan manusia di seluruh belahan dunia?


Saya kira setiap orang tidak bisa mengira. Tahu-tahu seluruh kelas tatap muka dihentikan berganti menjadi tatap maya.  Tahu-tahu mobilitas dibatasi selama pandemi. Tahu-tahu ada washtafel di setiap restoran. Tahu-tahu setiap orang diwajibkan menggunakan masker, rutin cuci tangan dan taat protokol kesehatan.


Namun jauh dari itu semua, untuk kesekian kalinya, prosesi sakral kelulusan saya kembali hampa. Kalau dulu wisuda SMA nggak ikut karena ada seleksi, kalau sekarang hampa karena ada pandemi. Tidak ada iring-iringan. Tidak ada lagi teman yang duduk berdampingan. Sedikit sekali momen kebahagiaan yang terekam. Nyatanya, penggantian istilah ‘Yudisium’ menjadi ‘Yudisizoom’ bahkan tidak dapat disebut sebagai hiburan. Karena hal yang saya inginkan adalah melihat senyum dan tangis haru atas seluruh asa yang telah mereka perjuangkan. Sejatinya, bukankah wajar jika setiap dari kita menanti-nantikan hari perayaan?


Saya hanya ingin menutup jurnal dua dekade sembari duduk bersila jauh dari keramaian orang di prosesi sakral itu. Memperhatikan kebahagiaan orang-orang yang berjasa di kehidupan saya meski dari kejauhan. Saya bersyukur karena Allah Swt. mempertemukan saya dengan mereka. Dari mereka, saya belajar banyak hal mengenai perspektif. Perspektif berpikir saya yang dulunya sempit dan homogen, perlahan tapi pasti terbuka seiring dengan banyaknya orang yang saya temui. Karena bagi saya, bergaul boleh dengan siapa saja, asal selektif dengan kegiatan apa yang akan dilakukan. Kalau kegiatan itu tidak sejalan dengan apa yang biasa saya lakukan, kenapa saya harus repot-repot bermuka dua dan dengan terpaksa mengikuti kegiatan mereka? Prinsip ‘bebas berteman tapi selektif dengan kegiatannya’ itu kemudian saya pegang dalam menjalin setiap persahabatan.

 

 

#RefleksiDuaDekade

Dari umur saya yang telah melalui dua dekade ini, saya menyimpulkan bahwa menyederhanakan pikiran di tengah dunia yang kian kompleks adalah jawaban dari setiap permasalahan yang saya alami. “Yaudahlah ya” menjadi kalimat yang sering saya sebut setiap kali menemui permasalahan yang sebenarnya tak perlu dibesar-besarkan.


Saat kamu penuh sabar menunggu mie goreng yang tengah kamu masak agar matang, kemudian kamu tak sengaja membuangnya ke washtafel bersama air rebusan, yaudah. Tak perlu dirisaukan. Jangan hanya karena itu, kamu malah nggak jadi makan. Beli mienya, lalu masak kembali dengan hati-hati.

Yaudahlahya.


Saat kamu menjadi orang pertama yang datang kala janjian, menunggu penuh sabar kehadiran temanmu, lalu dia datang menyapamu setelah satu jam berlalu seolah-olah tak punya salah, yaudah. Tak perlu kamu kacaukan agenda bermainmu hanya karena perasaan sebal – yang sebenarnya tak perlu di biarkan berlarut-larut.

               Yaudahlahya.


Saat kamu yang berlelah-lelah dalam usaha, tapi orang lain yang menuai apresiasi dan menikmati hasilnya, yaudah. Toh, tenggelam dalam apresiasi juga tidak baik. Bisa saja hal itu membuatmu merasa digdaya lalu menjerumuskanmu ke tempat seburuk-buruknya berpijak.

Yaudahlahya.

 

 

(Mungkin tidak semua) manusia adalah makhluk egosentris. Suka tak suka, memang begitu faktanya. Senang menjadi pusat perhatian, abai terhadap segala pendapat lain insan. Mengglorifikasi setiap permasalahan yang sepele dan menjustifikasinya seolah-olah dirinyalah yang paling benar. Padahal ia lupa, bahwa di atas sana ada Sang Maha Benar.


 -

I’m slowly learning that even if I react, it won’t change anything, it won’t make people suddenly love and respect me, it won’t magically change their minds. Sometimes it’s better to just let things be, let people go, don’t fight for closure, don’t ask for explanations, don’t chase answers and don’t expect people to understand where you’re coming from. I’m slowly learning that life is better lived when you don’t center it on what’s happening around you and center it on what’s happening inside you instead. Work on yourself and your inner peace. TheMindsJournal (via onlinecounsellingcollege)

 -


Untuk kamu yang baru melalui fase dua dekade, semangat ya!


Kutunggu cerita-cerita hebat di jurnalmu nanti!

 ____________________________________

Here, let me brought my Epilog #RefleksiDuaDekade gallery to you. 

This gallery contains photos that may be disturbing. Reader discretion is advised!!




Dinamika 2017 : Keluarga Pertama di Ali Wardhana
 
Tingkat Pertama



Pasca Kecelakaan

 

    
Tangan Kanan


Tangan Kiri


 
Mereka yang jauh-jauh datang menjenguk






Tingkat Dua isinya hardcore semua



Tatap Maya Tingkat 3 

Tingkaaat 333333333333


Dinamika 2019 : Keluarga HPD Mandan





HPD Mandan




Mandan lagiiii




Masih HPD Mandan


Discusscene 2019 : Hampir 1.000 peserta kala itu

Scene x Froyonion



Kangen ga sih nginep dan makan bareng di Pelataran Masjid Baitul Maal?


Kosan Tingkat 1







Kos Tingkat 2

 
Beskem Pamadika yang direpotin waktu Tipes


Kosan Tingkat 3





Beskem Kosan tingkat 3 kurang Teguh


 

 

 

Wisssudaahhh




Cheers!





Yeaaay selesai! 
Terima kasih sudi membacaaa!
Sampai jumpa di refleksi yang lain yaa!





Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.