Momentum - #RefleksiDuaDekade

 


Melanjutkan edisi perdana dari #RefleksiDuaDekade, saya ingin menceritakan refleksi kedua ini dengan cerita semasa menginjak sekolah menengah pertama.



~

Momentum  – #Refleksi2Dekade

Bagian Ketiga #RefleksiDuaDekade

Bagian Pertama #RefleksiDuaDekade : Prolog #RefleksiDuaDekade

Bagian Kedua #RefleksiDuaDekade : Perdana #RefleksiDuaDekade

~


Kedewasaan.

Adalah Muhammad Ibtihaj Han. Sesosok manusia yang mengubah diri saya sepenuhnya. Ingatan saya memang samar-samar, tapi saya yakin bahwa saya mulai mengaguminya sejak Masa Orientasi Sekolah dimulai. Cara berpikirnya yang dewasa, terpatri dari caranya berbicara sebagai seorang Presiden QIDS (OSIS) kala itu. Untuk seorang siswa yang masih menginjak umur Sekolah Menengah Pertama, jelas bahwa beliau jauh lebih dewasa dari umurnya.  Age doesn’t define maturity nampaknya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan dirinya. 

 

Berangkat dari rasa kagum saya terhadap beliau, saya kemudian menjajaki segala organisasi yang bisa saya ikuti. QIDS, Rohis hingga Pramuka saya jejali dengan alasan fundamental yang digunakan 1000 umat ketika menjalani tes wawancara: “Ingin menambah pengalaman”. Alasan yang kini kuanggap egois itu, nyatanya berhasil dan cukup efektif untuk menjadi bagian dari mereka.

 

Saya ingat betul betapa besar ketertarikan saya terhadap tetek-bengek teknologi, hanya karena sering bermain gim sewaktu sekolah dasar. Jadilah saya waktu itu mendaftar QIDS dan menjadikan Allifah Rahmatilah sebagai mentor pertama saya sewaktu periode pertama di QIDS Departemen Pembinaan Teknologi, Informasi dan Komunikasi. Banyak hal yang saya dapatkan dari orang-orang hebat kala itu. Ditinjau dari segala pengalaman yang telah saya dapatkan, jelas QIDS menjadi pijakan pertama saya untuk mengeskalasi diri saya ke level yang lebih tinggi.

 

Satu periode berjalan, kemudian tiba masa pemilihan ketua OSIS periode berikutnya. Saya sendiri waktu itu digadang-gadang untuk melanjutkan tongkat estafeta kepemimpinan. Namun karena satu lain hal yang tak bisa saya jelaskan di sini, akhirnya saya mengurungkan niat saya untuk mengajukan diri sebagai calon ketua OSIS kala itu (psst. Kalau kamu penasaran, boleh banget kok nanyain aqu xixixi).

 

Urung niat itu kemudian disusul dengan pertanyaan dari teman-teman saya. Salah satu dari mereka pernah bertanya, “Det, kenapa nggak jadi daftar? Padahal kalau kamu daftar aku pasti milih kamu.”

 

Speechless? Iya. Sungguh waktu itu saya tertegun. Kala itu saya tidak bisa membedakan dengan jelas, apakah ungkapan tersebut merupakan sebuah ungkapan kekecewaan, atau memang sebuah ungkapan yang menandakan kepercayaan.

 

Tapi saya yakin, Allah memiliki rencana yang jauh lebih baik dari apa yang saya pikirkan.

 

Dan ternyata rencana itu membawa saya tersesat ke jalan yang seharusnya. Pada periode berikutnya, saya diamanahi sebagai Kordinator Departemen Kerohanian sekaligus merangkap sebagai Ketua Rohani Islam. Kalau ada yang bingung, lho kok kenapa bisa? Ya sama saya juga. Masalahnya, saya nggak se-sholeh itu untuk menanggung titel Rohani Islam. Tapi alhamdulillah. Jalan yang saya tempuh itu ternyata menjadi langkah awal saya untuk menapaki jejak dakwah.

 

Saya masih ingat betul keputusan saya ketika memilih Fakhry sebagai koordinator keamanan. Suatu keputusan yang waktu itu meninggalkan pertanyaan beberapa pihak, termasuk dirinya. Banyak pihak yang memandang bahwa beliau tidak memiliki kapabilitas. Namun seiring waktu berlalu, nyatanya, keputusan memilih Fakhry sebagai koordinator keamanan tersebut sangatlah tepat. Banyak ide dan gagasan yang timbul dari benaknya yang memang sangat bagus dan benar-benar sesuai untuk diterapkan. Senengnya lagi, kami berdua kembali dipertemukan Allah dalam satu organisasi Rohani Islam tingkat kota semasa SMA (yang notabenenya kala itu kami berbeda sekolah). Sungguh, dari sekian nikmat yang Allah berikan, nikmat ukhuwah-lah yang sering saya syukuri.

 

Banyak pihak yang membersamai saya di Rohis kala itu. Salah satunya adalah Ersa. Saya juga masih ingat betul apa yang dikatakan oleh beliau selaku wakil ketua Rohis ketika ia berbicara tentang saya. Katanya,”Dete waktu SMP kalo ngomong sama cewek pasti nunduk, nggak berani natap mata.”

 

Haduh. Kalo inget kata-kata itu jadi malu sendiri. Kalo dibandingkan sekarang, dete nampaknya jauh lebih bobrok. Hehe.

 

 

Terus siapa lagi yang jadi Role-Modelmu, det?

Galih Hafidz Hidayat.

 

Selama saya hidup sampai saat ini (9 November 2020), saya belum pernah menemukan orang yang paling jujur selain Galih Hafidz. Orangnya adem, jarang ngabsen hewan kebon binatang, dan pastinya nggak marahan – kalopun marah ato kesel, seringnya dipendem alias jarang ditunjukin ke orang-orang. Perangainya yang rendah hati benar-benar mengajarkan saya bagaimana menjadi orang yang apa adanya.

 

Akademis? Woah dia pinter banget. Waktu SMP, saya, Galih dan Adil adalah tiga orang yang terus bersaing di 3 peringkat pertama di kelas. Fast-forward, meski pisah SMA, dia ngelanjutin tren akademisnya dengan menorehkan prestasi OSK Matematika – kalau saya tidak salah. Kerennya lagi, Galih ini sekarang kuliah di FK UNPAD – fakultas yang paling ketat saingannya di Indonesia. Whoaaaaaaa, bener-bener role model banget pokoknya!

 

Namun, saya pernah mengecewakannya. Pada waktu itu, mungkin untuk pertama kalinya selama ujian, saya merasa bimbang untuk memilih opsi jawaban mana yang lebih tepat. “Yakin jawabannya B, tapi bentar, kayaknya D juga bener deh”. Kurang lebih hal tersebut yang berkecamuk di pikiran saya kala itu.

 

Akhirnya saya memutuskan untuk bertanya ke Dalhadi ketika ujian tengah berlangsung. “D” jawab Dalhadi. Aku yang tengah kebingungan saat itu, tanpa pikir panjang langsung menghapus opsi sebelumnya, kemudian menulis koreksi hasil bisikan Dalhadi. Sesaat ketika saya menoleh dan bertanya kepada Dalhadi, Galih – yang berada tepat di belakang Dalhadi – melihat saya dengan penuh kekecewaan, tercermin jelas dari sorot matanya diikuti gelengan kepala.

 

Selepas ujian, saya benar-benar overthinking karena hal ini. Jelas waktu itu saya melakukan tindakan yang salah. Tapi hal yang benar-benar membuat saya semakin bersalah, adalah mengecewakan Galih yang senantiasa bersaing dengan saya secara kompetitif dan penuh integritas. Naasnya lagi, ternyata jawaban hasil bisikan Dalhadi itu salah. Dan jawaban yang saya pilih sebelumnya justru merupakan jawaban yang benar.

 

Duh, sudah jatuh tertimpa tangga pula.”

 

Andai suatu saat kamu membaca jurnal ini Lih, dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf sebesar-besarnya, ya. Maaf juga belum bisa bilang secara langsung. Waktu itu udah pernah ada niat, tapi...


 


Sampai sekarang saya belum berani meneruskan percakapan itu.

 

Det, how about love? Did you ever fall in love when you were in junior high school?

Yap.

Definisi ‘love’ memang luas. Tapi nampaknya, saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan Plato. Menurutnya, True Love is Admiration.

And... i just could not agree more with him.

 

Untuk urusan ini, mungkin saya enggan berkomentar banyak. Karena toh, kutipan Plato yang singkat itu telah mewakili apa yang ingin saya utarakan mengenai ‘true love’ itu sendiri. Lagian, jurnal ini telah sesak dengan hal-hal seperti itu. Hahahaaha.

 

---

Jika lika-liku fase SMP dianalogikan sebagai sebuah roller-coaster, maka nampaknya saya berada di fase growth, dan mencapai rapid growth semasa SMA. Saya meyakini bahwa masa SMP menjadi masa momentum saya menuju kedewasaan– meski sejatinya masih seringkali bertindak sebaliknya. Hufft.

 

~

Bagian Keempat #RefleksiDuaDekade : Pilihan #RefleksiDuaDekade

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.