Pilihan #RefleksiDuaDekade

Pilihan #RefleksiDuaDekade

 


“I hope there are days when your coffee tastes like magic,

your playlist makes you dance,

strangers make you smile,

and the night sky touches your soul.

I hope there are days when you fall in love with being alive.”

Brooke Hampton

 

  


~

Pilihan  – #Refleksi2Dekade

Bagian Keempat #RefleksiDuaDekade

Bagian Pertama #RefleksiDuaDekade : Prolog #RefleksiDuaDekade

Bagian Kedua #RefleksiDuaDekade : Perdana #RefleksiDuaDekade

Bagian Ketiga #RefleksiDuaDekade : Momentum #RefleksiDuaDekade

~



Banyak hal yang terjadi saat saya menginjak sekolah menengah atas. Suasana sekolah yang sedikit lebih heterogen membuat saya bersyukur pernah duduk di bangku sekolah itu. Saya bertemu banyak figur dengan berbagai kepribadian yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Bahkan, banyak kepribadian teman-teman SMP saya yang berubah 180o semenjak menginjak SMA. Rasanya tepat bila saya sebut SMA sebagai fase pencarian jati diri sesungguhnya.

 

Sebagaimana disebutkan Arya, hidup adalah akumulasi dari keputusan yang diambil setiap harinya. Dan dalam setiap keputusan yang diambil, tentu kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mengharuskan kita untuk memilih salah satu diantaranya. Dilematis perdana menghampiri manakala saya dihadapkan pada pilihan antara memilih menjadi siswa Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) atau Ilmu Sosial (IIS).

 

“MIPA aja, biar peluang kuliahnya banyak.” cetus ayahku dulu.

 

Tanpa berpikir panjang, saya kemudian memilih MIPA dan menjalaninya selama satu semester pertama.  Shock? Jelas! apalagi sama mata pelajaran Fisika. Hari-hari saat mata pelajaran tersebut berlangsung terasa kian hampa. Saya terus menggerutu mencari-cari alasan untuk mengutuk mata pelajaran ini. Sudahlah. Semester depan saya pindah ke IIS aja!

 

“Yakin? Tapi konsekuensinya Dete harus ikut ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester seluruh mata pelajaran IIS secara maraton.” Jawab Pak In-in yang meyakinkan saya untuk tetap stay di MIPA karena saya bertengger di lima peringkat teratas paralel angkatan saat itu.

 

Mendengar ucapan tersebut, saya bergidik. Empat hingga enam pelajaran IIS saya kebut dalam waktu beberapa minggu doang? Ah mana mungkin! Akhirnya saya mengurungkan niat tersebut karena pengambilan keputusan saya memang belum matang dan terkesan mengedepankan ego semata.

 

Fast-Forward, kini saya justru baru saja lulus menempuh pendidikan ekonomi terapan – yang notabenenya merupakan rumpun ilmu sosial. Nyesel karena nggak linier sama mata pelajaran SMA dulu? Nggak juga. Saya justru bersyukur karena pengetahuan saya –setidaknya – lebih beragam.

 

Terkait hal ini, saya teringat dengan apa yang Hasan pernah utarakan. Katanya, dia menyesal karena sekarang ia tidak menempuh pendidikan di ilmu Fisika dan termakan skeptisisme kakak tingkat yang pernah menyepelekannya dengan ucapan,”Buat apa ngambil kuliah Fisika?”.

Saat saya bertanya lebih jauh alasannya, dia lantas menjawab, “karena dengan menguasai Fisika, kita bisa melakukan modelling.” Saya memang tak paham, tapi setidaknya saya memahami penyesalannya yang mendalam.

 

Bila dipikir-pikir, saya juga menyayangkan  alasan dulu saya memilih MIPA hanya demi ‘peluang’ yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, tujuan kita belajar seharusnya bukan semata-mata demi mendapatkan pekerjaan, melainkan demi mengasah dan mengembangkan pola pikir – sesederhana kita memandang sebuah mobil.

Bagi anak TK, mobil ya mobil.

Bagi anak SD, bahasa Inggris mobil ya car.

Bagi anak SMP, mereka tahu bahwa mobil terdiri dari macam-macam bagian yang tersusun menjadi sebuah mobil.

Bagi anak SMA, terutama SMK, mereka memahami cara kerja mobil dan bahkan bisa melakukan perawatan atas suatu mobil.

Dan bagi anak Perguruan Tinggi yang linier dengan ranah otomotif dan permesinan, mereka mungkin bisa merakit sebuah mobil dari mulai penyusunan blue print hingga menjadi barang jadi.

 

Bagi saya, pola pikir yang kian berkembang itulah yang seharusnya kita jadikan salah satu tujuan utama kita dalam mendalami suatu ilmu pengetahuan.

 

---

Keajaiban Shalat Dhuha.

Berani saya bilang, bahwa Acara CDM-NFBS yang saya, Hasan, Gilang, Hegar, Daniel, dan Arya ikuti menjadi bukti nyata keajaiban Shalat Dhuha.

 

Menginjakkan langkah kaki pertama di sekolah mahal nan mewah seusai tiga jam perjalanan untuk mengikuti rangkaian lomba yang diikuti 2.000 orang dan skup partisipan se-Asia Tenggara ini bikin kami ketir duluan. Dari soraknya suara mic yang berdendang hingga ingar-bingar peserta yang berlalu lalang, benar-benar tampak semarak sejauh sorot mata memandang.

 

Haduh, lengkap sudah penderitaan kami yang merasa kecil dan berasal dari sekolah terpencil ini.

 

Akhirnya, daripada membiarkan rasa khawatir yang berkepanjangan, kami memutuskan untuk berkunjung ke masjid terlebih dahulu karena memang akomodasi tempat tinggal yang disediakan bagi peserta sendiri bertempat di Masjid NFBS tersebut. Masjid yang luas dan megah ini benar-benar nyaman dan mengingatkan saya pada mimpi yang ingin saya capai, yaitu mengunjungi masjid-masjid di seluruh Indonesia.

 

Saya kemudian menamai mimpi ini dengan #Ekspedisi33MasjidNusantara.

 

Kalau ada yang bertanya, “Det, kenapa memilih masjid sebagai mimpi yang ingin dicapai, padahal banyak destinasi wisata yang khas di seluruh Indonesia?” maka dengan tegas saya pasti meluruskan, bahwa saya juga pengen banget kok berkunjung ke penjuru negeri! Karena toh, saya percaya pada dua hal, yang pertama People Make Places dan yang kedua, saya percaya dengan apa yang Fiersa katakan bahwa kemanapun kita melangkah, tujuan akhir pasti selalu rumah. 

 

Alasan khusus mengapa saya memilih masjid sendiri, karena bagi saya masjid adalah tempat yang sangat luar biasa. Di hadapan Sang Pencipta, kita bersujud padaNya, sejajar bershaf tanpa memandang gelar, jabatan, profesi atau apapun itu dengan orang lain. Semua demi satu tujuan, yaitu mencari keridhoanNya semata.

 

Satu hari berlalu, tiba saatnya kami berkompetisi sesuai cabang lomba yang digelar. Semua orang tampak antusias demi memperebutkan gelar juara. Ada yang merasa puas, ada juga yang merasa lemas. Terlepas dari menang atau tidaknya, bagi saya berkompetisi dengan partisipasi ribuan orang saja udah syukur. Saya akhirnya memahami esensi bahwa kompetisi itu hanya sesaat di panggung perlombaan saja. Ada satu hal yang tak kalah penting setelah berkompetisi, yaitu berkolaborasi. Bahwa sehebat-hebatnya kita dalam meraih juara, pada akhirnya kita harus menanggung beban atas titel yang kita terima. Entah untuk berkompetisi ke level yang lebih tinggi, atau berkewajiban untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada sesama.

 

Yang jelas, tentu kita enggak bisa bergerak sendiri untuk melakukan kedua-duanya, kan?

 

Ada satu hal yang menarik kala kami berlomba di sana. Panitia memberikan semacam peluang ‘giveaway’ dengan memberi kesempatan kepada puluhan sekolah – yang dari setiap sekolah itu mengirimkan perwakilan hingga puluhan orang banyaknya, sedang kami hanya berkompetisi dengan enam orang saja – untuk mengambil undian kertas berisi nomor acak. Undian acak tersebut berisi banyak hadiah menarik – yang mana salah satu biggest doorprizenya adalah tiket pesawat pulang-pergi ke seluruh Indonesia – dan akan diumumkan ketika penutupan acara nantinya.

 

Saat saya tanyakan kepada mereka teknisnya seperti apa, saya langsung bertanya keheranan.

“Kalau gini teknisnya, enak dong yang ngirim perwakilan puluhan orang memiliki peluang lebih besar karena panitia memberi kertas untuk setiap orang, bukan untuk setiap sekolah?”

 

Tapi ya sudahlah. Daripada lama memusingkan hal-hal seperti itu, saya lantas bergegas menemui Hasan. Alasannya? Karena otak saya kotor. Saya mikirnya menang, menang dan menang giveaway. Sedangkan Hasan, saya yakin orangnya lurus nggak bakalan mikir aneh-aneh. Okelah, akhirnya saya mempersilahkan Hasan untuk mengambil enam kertas acak dari suatu jar yang kemudian kertas tersebut kami simpan hingga penutupan nanti. Saya taruh sebagian kertas tersebut ke dalam saku, demikian juga Hasan yang turut menyimpan sebagian kertas sisanya. Agar memudahkan, saya lantas mencatat angka-angka tersebut di telepon seluler saya.

 

Selepas itu, Hasan menyuruh saya Shalat Dhuha.

 

Ya, kamu nggak salah.

 

Shalat Dhuha, just in the nick of time menuju pengumuman? Gimana kalau enggak keburu? Gimana kalau hall udah penuh dan nggak ada kesempatan buat duduk lagi di antara padatnya ribuan orang itu? Terus, kalau menang perlombaan siapa yang ngewakilin? Siapa juga yang ngewakilin jika nanti hadiah give away hangus kalau-kalau kita menang?

 

Di sisi lain, omongan Hasan ada benarnya juga. Shalat Dhuha adalah ibadah sunnah dengan salah satu tujuannya untuk mendapatkan Ridha-Nya dalam hal kelancaran rezeki. Akhirnya daripada dihampiri dilema yang berlarut-larut, saya lantas pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Dhuha.

 

Later it somehow led us to a biggest victory.

 

Seusai menunaikan Shalat Dhuha, saya lantas pergi ke main hall dan menyaksikan betapa meriahnya saat ribuan orang berkumpul di satu tempat dan satu tujuan yang sama.  Satu persatu lomba diumumkan. Dan Alhamdulillahirabbil’alamin, lomba yang saya dan teman-teman Hunters Pictures ikuti memperoleh juara pertama. Akhirnya lega dan bisa bikin bangga anak-anak kru film di Tasik nanti! Alhamdulillah juga, Hasan mendapatkan juara ke-tiga di lomba yang ia ikuti. Nampaknya, kalau saya lihat, sepertinya sekolah kami merupakan sekolah satu-satunya yang menjuarai dua cabang perlombaan dengan partisipan yang sangat sedikit. Alhamdulillah.

 

Seusai pemenang lomba diumumkan, tiba saatnya pengumuman give away. Satu persatu give away diumumkan dan diikuti sorak teriakan yang menggema. Di antara padatnya ribuan orang yang duduk, saya melihat Hasan memegang kertas undian miliknya. Nampaknya ia juga tak sabar ingin memenangkan give away. Hahahaha.

 

“Seratus.....dua puluh....*sekian, maaf saya lupa nomor urutnya*”. Saya yang tengah bengong lantas mengingat-ngingat, “eh kayaknya ini angka di kertas yang saya pegang!” saya lantas mengecek telepon seluler dan ternyata benar. Saat MC memanggil berulang-ulang dan hendak mengacak undian kembali – tentunya diikuti teriakan peserta yang iri karena mereka tak memiliki kertas yang diumumkan MC – saya lantas berlari ke podium sembari mengacungkan kertas undian yang saya ambil dari saku saya.

 

Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu” begitu ramai orang meneriaki saya yang tampil percaya diri sambil memegang hadiah give away yang diserahkan oleh Direktur NFBS kala itu. Alhamdulillah menang euy! Selepas itu, saya kemudian turun dari podium sembari merasa puas.  

 

“Dan Doorprize terbesar kita, sekaligus menutup acara ini yaitu tiket pesawat PP ke seluruh Indonesia, pemenangnya adalah nomor undian ....... *saya lupa berapa angkanya”. begitu MC mewartakan dengan penuh semangat.

 

“Eh........... ANGKA AIIIINNNNNNNGGGGGGGGGG!” saya kemudian membuka telepon seluler untuk memastikan dengan penuh rasa tidak percaya. Daaaan... ternyata benar! Saya menang lagi!  Dengan penuh bangga, lantas saya kembali lagi naik ke podium dari tangga belakang dan mengacungkan kertas yang saya miliki. MC yang tak percaya kemudian melihat kertas saya dan akhirnya mengumumkan bahwa saya kembali memenangkan doorprize terbesar itu. Alhamdulillah!

 

Rasanya, ini pertama kalinya saya merasa menjadi public enemy! HAHAHA.

 

Teriakan secara kolektif menggema menyoraki saya saat berpose menerima hadiah yang diserahkan langsung oleh tamu undangan NFBS.

Alhamdulillah, berkah Shalat Dhuha!

 

---

Nikmatnya Ukhuwah

Kala saya SMA, saya bertemu banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Yang awalnya ‘tuntutan’ program kerja untuk merajut persaudaraan lintas sekolah, akhirnya menjadi nikmat ukhuwah yang tak terukur nilainya. Saya ingat betul teman-teman saya dari Borneo yang menempuh pendidikan di  Ciamis, rela izin hampir tiap pekan bertemu sapa dalam satu lingkaran kebaikan. Mereka selalu tampak antusias dan hampir tak pernah terlihat keluh kesah dari perangai dan mimik wajahnya. Dari hal ini, Allah perlihatkan wujud nyata bagaimana ukhuwah Islamiyah senantiasa menguatkan saya di jalan dakwah.

 

Hingga di penghujung perpisahan pun, mereka sempat mengabadikan foto mereka saat berlayar di perahu menuju Borneo dan menulis di secarik kertas tentang saya. Saya yang tak mau kalah, lantas melakukan hal yang sama sebagai tanda persahabatan kami.

 

Masih dengan suasana nikmatnya ukhuwah, saya juga memiliki banyak figur teladan dan teman-teman hebat yang senantiasa membersamai saya. Sebut saja salah satunya Saiful Arifin. Sahabat yang pertama kali mengucapkan selamat karena saya telah diterima di STAN sesaat setelah saya selesai melaksanakan shalat maghrib di Masjid Agung Tasikmalaya. Kalau masalah utang budi padanya, jelas banyak banget. Sosoknya sebagai kapten Farxad yang senantiasa mengayomi ikhlas mengabdi kadang bikin saya bener-bener bersyukur karena ketemu orang kayak kamu, Pul.

 

Ada juga Banero, kawan-kawan hebat yang mengukir kisah tingkat akhir saya dengan sempurna. Yang kalo tidur depan guru nggak kira-kira. Yang kalo ada cimol Bi Nani udah ngerubungin kayak semut nemu gula. Dan yang kalau ada ajang sepak bola, sering dianggap underdog tapi bisa nembus kualifikasi grup padahal timnya emang nggak jago-jago amat—kecuali beberapa.

 

---

“Proses pembelajaran tidak hanya terpaut pada empat penjuru dinding.”

Begitu ucapan sederhana namun sarat akan makna yang dilontarkan oleh Pak Jenal, Kepala SMA saya dulu. Berangkat dari hal tersebut, saya kemudian menjejali berbagai macam organisasi dan menorehkan prestasi dari regional hingga internasional demi membuka boundaries dan skeptisisme saya, bahwa hidup itu nggak gitu-gitu aja. Pergi-belajar-main-pulang-tidur. Duh, bosen banget kalau lifecycle cuma gitu-gitu doang.

 

Di sisi lain, sejak dulu hingga sekarang, ada dua hal yang tengah saya bangun dan susun, yaitu membangun a huge tree of life dan mencatat setiap cerita perjalanannya dalam Jurnal Dhiya.

 

A huge tree of life.

“Menjadi Insan Mulia yang Taat, Berprestasi dan Bermanfaat” merupakan visi hidup yang telah saya temukan setelah pengelanaan selama 18 tahun lamanya. Sebagai insan yang memiliki kelebihan akal dan nafsu, maka tentu insan yang mulia berarti mampu memaksimalkan akal untuk hal-hal yang baik, serta dapat menguasai hawa nafsu dari hal-hal yang buruk.

 

Bentuk ketaatan sendiri terletak pada hubungan kita dengan sang Maha Kuasa, Allah Swt. serta hubungan kita dengan sesama manusia, baik itu kepada orang tua, rekan kerja, maupun kepada ulil amri. Menjadi taat berarti bagaimana senantiasa patuh dengan segala sifat kerendah hatian. Kelak, taat itulah yang InsyaAllah akan Allah balas dengan kenikmatan.

 

Janji Allah untuk meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu barang tentu menjadi landasan poin prestatif ini. Sembari menempuh pendidikan, apa salahnya jua sembari mencari makna ’prestasi’ yang bahkan hingga saat ini masih dan terus akan saya gali? Dengan harapan, kelak akan saya kembalikan lagi manfaatnya kepada khalayak luas sebagai manifestasi rasa syukur atas segala nikmat hidayah serta ukhuwah yang telah diberikan oleh Allah Subhanahuwata’ala.

 

Tidak akan berguna jika kita hanya sekadar melakukan upaya yang baik pada diri sendiri, tapi sama sekali tidak memberi kemanfaatan kepada orang lain. Maka dari itu, gelar sarjana, magister atau bahkan doktor yang kelak ingin dicapai, harus semata-mata bukan untuk kepentingan pribadi saja, melainkan juga untuk koridor kemanfaatan yang lebih luas. Setiap insan akan memiliki ranah juang dan masanya masing-masing. Mari ambil kesempatan, dan hadirkan peran!

 

Visi hidup tersebutlah yang menjadi ‘akar’ bagi pohon besar ini. Cabang ranting yang kian tumbuh merupakan ejawentahan dari visi hidup saya. Karena sejatinya, suatu pohon membutuhkan akar yang kuat untuk menopang beban atasnya. Jika akarnya rapuh, tentu pohonnya juga rapuh. Itulah mengapa, visi hidup menjadi hal yang fundamental dalam rangka membangun sebuah pohon kehidupan yang besar ini.

 

Jurnal Dhiya

Sembari terus menumbuhkan pohon besar ini, saya ingin memastikan bahwa segala perjalanannya tercatat rapi melalui suatu logbook ‘Jurnal Dhiya’ ini.  Antara menjadi inspirasi atau sebaliknya, saya tidak terlalu memusingkannya. Untaian kalimat-kalimat ini sampai padamu saja, saya sangat bersyukur.  Karena bagi saya, menulis jurnal ini selalu menjadi pelarian atas segala rasa penat saya. Seringkali jurnal yang saya tulis juga menjadi penyemangat sekaligus menjadi ‘Turning Point’ kala saya merasa di titik terendah. Semoga bagimu juga!

 

 


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.