Perdana - #Refleksi2Dekade

 


 


Hasan – yang hobinya ngomong setengah-setengah – pernah bilang, katanya kita menempuh pendidikan, ya buat ngasah pola pikir kita. 



~

Perdana  – #Refleksi2Dekade

Bagian Pertama #RefleksiDuaDekade : Prolog #RefleksiDuaDekade

~


Dari ucapan yang nggak jelas maksudnya itu, Aku kemudian berpikir dan baru menemukan maksud ucapannya beberapa tahun kemudian. Tentang apa yang aku pikirkan itu, akan ku tuangkan dalam serangkaian #Refleksi2Dekade ini.

Selamat menikmati!

~

 

Fase I : Rasa Takut.

Saya mengawali pendidikan dasar dengan rasa takut. Bukan takut karena lingkungan yang baru nan jauh, bukan pula takut karena tidak akan diterima di sekolah swasta itu. Tapi cuma takut karena nggak bisa berbahasa Indonesia dengan fasih dan benar. Sesederhana itu aku mendefinisikan rasa takut semasa masih belia.


Kebiasaan menggunakan bahasa Sunda sejak Taman Kanak-kanak membuatku bergidik dan insecure sewaktu didaftarkan orang tua untuk mengambil pendidikan dasar yang cukup jauh dari rumah. Padahal, tinggal melangkahkan kaki beberapa belas langkah saja sudah sampai di depan gerbang suatu sekolah dasar. Pilihan demikian acapkali menjadi pertanyaan banyak pihak yang merasa keheranan dengan keputusan yang diambil orang tuaku dulu. Katanya sih, biar ada yang jagain sampai sore – alias fullday. Bahkan menurut kakak tingkatku dulu, tempatku belajar lebih mirip penitipan anak daripada sekolah itu sendiri. Ahahahaha!


Long Story Short, aku diterima dan menjalani pendidikan dasar dengan penuh keceriaan. Ya gimana nggak ceria si.. kan bebannya juga nggak ada. Rasa takut yang kukhawatirkan dulu, perlahan sirna begitu saja saat bertemu teman-teman yang ternyata sama-sama bisanya cuma bahasa sunda. Nggak ada juga tuh, night with overthinking karena bingung mau makan apa besok dengan sisa uang yang ada. Padahal waktu dulu, jajan 1000-2000 aja bisa survive seharian. Pun dulu, tiap kali istirahat bawaannya pengen cepet-cepet main bola bareng temen-temen. Tapi justru sekarang, tiap ada jeda rehat bawaannya pengen banget rebahan.

 

Fase II : Apresiasi dan pengakuan.

Dulu mana paham sama istilah ‘apresiasi’. Tapi yang jelas, aku yang dulu benar-benar bersyukur banget ketika mendapatkan apresiasi dari orang lain. Singkatnya, hal tersebut bermula ketika aku naik kelas dua. Bersama temanku dulu, kami termasuk beberapa orang yang cukup cepat dalam menghafal nama-nama asmaul husna. Apresiasi dari (Almh.) Bu Nia – sebagai wali kelasku dulu—benar-benar membuatku sumringah. Gimana enggak bro, karena pada masa yang sama, juga pernah dikalungi penghargaan karena terpilih menjadi siswa akhlakul-karimah yang digilir setiap periode tertentu. Entah berdasarkan kriteria apa aku terpilih waktu itu. Karena kupikir, toh anak kecil kelas 2 SD tahu apa tentang akhlak? Tapi yauda si ya (Tuh kan, malah dipikirin yang kayak ginian. Padahal waktu dulu mah wis Alhamdulillah ga perlu mikir aneh-aneh)~


Btw, Kalungnya memang sederhana, hanya untaian tali dengan kertas yang dibungkus plastik saja. Tapi senyum merekah wali kelas dan orang tua itu lho yang bikin bahagia <3

 

Time Flies. Aku menjalani hari-hari sekolah dengan biasanya. Seneng pulang sekolah karena ada rapat guru, seneng pula kalo lonceng istirahat berdentang dan menyanyikan lagu, “pagi ku cerah, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak…” dan sedih kalo toa speaker udah nyanyi bagian, “Guruku tersayang, Guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku..”. Bukan karena sayang guru, tapi karena emang itu tanda lonceng istirahat udah selesai .


Oh iya, untuk pertama kalinya, aku pernah ditunjuk untuk masuk ke pusaran politik pemilihan ketua kelas tiga dulu. Waktu itu, wali kelas tiga sendiri yang memimpin voting. Dan tanpa diprediksi, aku terpilih menjadi ketua kelas mengalahkan incumbent yang, duh, akumah ngerti jobdesc jadi ketua kelas aja enggak – jangan ekspekstasi lebih deh pokoknya.


Tapi beberapa tahun kemudian, tepatnya kelas 5, Aditya Chandra – teman kelasku – curhat bahwa dia mengaku seneng banget dipimpin waktu aku jadi ketua kelas, tanpa ngejelasin alesannya apa. Aku yang bengong di sana nggak bisa ngomong apapun, karena udah deh ya aku juga nggak tahu mau ngomong apa, namanya juga masih bocil.


Saat kelas lima, aku pernah ‘digiring’ oleh Reza M. Nurdiana ke perpustakaan dengan membawa kertas hasil ujian IPA. Waktu itu, tanpa tahu alasannya apa, dia tiba-tiba menangis sejadi-jadinya (disertai lendir ingusnya yang kental dan khas) sembari menyodorkan kertas hasil ujian IPA milikku. Ia lantas bertanya dengan polosnya yang kurang lebih,”Adi, kenapa kamu selalu mendapatkan nilai 100 di ujian IPA?”. Waktu itu aku lupa menanggapinya dengan kalimat apa, yang jelas pada waktu itu, jadilah 30 menit istirahatku dihabiskan untuk mendengarkan baik-baik apa yang ia curahkan.  (fyi, Reza ini sangat interest banget sama hal-hal yang berbau IPA. Hampir setiap istirahat, aku sering menemukannya di perpustakaan sembari membaca buku IPA. Aku bahkan belajar banyak darinya tentang makhluk-makhluk hidup yang ada di alam semesta). Selain itu, dia seneng banget main ke rumahku dulu. Dia ngeles ke bibinya sama ibuku pengen makan mie di rumahku. Padahal ujung-ujungnya main Airstrike produksi Game House – yang sebenernya dia juga punya game itu di rumahnya.

~


Menginjak kelas lima pula, nyatanya tidak selamanya hidup sekolah dasarku penuh dengan keceriaan. Ada suatu masa, di mana aku benar-benar mengecewakan guru – yang saya anggap terbaik semasa SD. Pada waktu itu, mewakili sekolahku, aku dan Julianti mengikuti pembinaan siswa SD berprestasi tingkat daerah (kecamatan/kota) yang memang menyita waktu belajar – dan kalo boleh jujur, waktu itu ga nyaman banget karena harus skip-skip kelas alias ngga bisa maen bola bareng, hehe.


Akhirnya pada suatu waktu tertentu, aku memberanikan diri datang ke perpustakaan untuk bertemu Pak Erick selaku pembina seleksi siswa berprestasi. Belum selesai aku menyampaikan hal yang ingin kuutarakan, beliau lekas menanggapi, “Enggak apa-apa..” ucapnya dengan lembut. Mungkin beliau tidak ingin aku sakit hati waktu itu. Jadilah semenjak itu, aku enggak melanjutkan lagi pembinaan seleksi siswa berprestasi dan lebih fokus ke lomba-lomba eksak lain tanpa ada pembinaan khusus tertentu. Semenjak itu juga, rasanya ada barrier yang menghalangi pembicaraanku dengannya. Memulai kembali pembicaraan dengan seseorang yang pernah saya lukai itu terasa tabu. Sulit sekali. Rasanya khawatir apabila suatu saat saya kembali melakukan kesalahan yang sama. Tapi sudahlah, semoga Pak Erick sehat selalu ya Pak.

~

Refleksi Perdana

Rasa takut adalah hal yang lumrah dialami oleh setiap insan. Yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya adalah kepada apa/siapa mereka takutkan, dan bagaimana cara mereka mengatasi rasa takutnya. Bagiku yang tengah berumur kepala dua ini, sadar betul betapa bodohnya rasa takut yang dulu pernah kualami hanya karena sebatas khawatir tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun di sisi lain, perlahan aku juga kian menyadari bahwa rasa takutku justru bukan terletak pada ketidakmampuanku berbahasa Indonesia, melainkan justru karena khawatir dikucilkan dan tidak bisa memiliki teman sebaya.


Selain itu, kalau dulu, rasanya bodo amat sama substansi dari apresiasi dan pengakuan yang kita terima. Yang penting kita menerima kalung buat dipakai – lebih tepatnya disombong-sombongkan – wes, rasanya senang sekali. Terlepas dari apa yang kita terima, entah itu apresiasi atas hal yang baik ataupun buruk, rasanya senang sekali bisa ‘berbeda’ dengan orang lain dan merasa istimewa karena dunia serasa milik kita. Sepertinya, hal tersebut juga membentuk kepribadianku di kemudian hari. Hanya saja, yang membedakan dari dua horizon waktu tersebut adalah tentang sikap bodo amat. Kalau dulu, bodo amat yang penting bisa berbeda dari orang lain. Tapi justru kalau sekarang ga bisa segampang itu ngerasa bodo amat bro. Sekarang itu, dikit-dikit mikirin, dikit-dikit mikirin. Kalau apresiasi atas hal yang baik, kadangkali ngerasa bahwa kita tidak pantas menerima apresiasi itu. Tapi di sisi lain, kalau apresiasi itu atas hal yang buruk, kita ngerasa terhina dan lagi – lagi, mikirin yang aneh-aneh. Ealah.  

~

Saat menginjak kelas sepuluh, guru seni rupaku Pak Irfan, ternyata juga mengenal Reza. Reza belakangan diketahui mengambil kelas privat menggambar bersama Pak Irfan. Menurut Pak Irfan, Reza pernah menceritakan tentang saya padanya.. dan Reza mengaku terinspirasi oleh sosok saya.


Ya, kamu nggak salah ngira.


Siapa sangka teman masa kecil yang telah berbeda SMP dan SMA masih mengingat saya? Kayaknya ngga ada yang nyangka ya. HAHA!


Justru harusnya sebaliknya! Kalau boleh saya bilang, ada banyak ‘seniman’ yang menginspirasi saya dengan karya, ketekunan dan kesederhanaanya, antara lain:


Pak Irfan yang nampaknya, merupakan guru pertama yang bilang gambaran saya bagus—meski saya tidak akan menampik bahwa karya saya memang jelek;


Ario Dwiarso yang menginspirasi, bahwa biar karya saja yang berbicara seberapa berkualitas diri kita—alias nggak perlulah kita showup ke orang-orang bahwa itu lhoo hasil kerja saya;


Ada juga Anisa Khumaeroh yang gak pernah sombong dan jarang ngaku hasil karyanya yang, kalau kamu baca ini cum, bikin temen-temenku merasa bersyukur pernah dimentori oleh sang maestro ini;


Juga Syahdan atau Nafis yang filosofis dan tekunnya dalam berkarya atau garap poster-poster dakwah bener-bener bikinku mikir, apa pernah orang-orang ini tidur?;


Ataau ada juga aan yang membuka boundaries skeptisisme saya, bahwa ternyata, akan selalu ada seniman berbakat yang mencurahkan bakatnya secara totalitas bukan semata demi kepentingan dirinya, tapi benar-benar seniman yang berpikir bagaimana menyentuh hati orang-orang melalui konten atau karya buatannya;


serta yang terakhir, adalah Reza M. Nurdiana. Seniman hebat yang dulu kerjaannya di kelas gambar-gambar mulu. Gambaran yang masih terpatri dalam benakku, adalah saat ia menggambar suasana perang. Ada tank, dinosaurus, angin puting beliung dan segala tetek-bengek imajinasi anak kecil pada usianya. Melihatnya menggambar dengan penuh semangat kian membuatku tertegun. Aku jelas belajar banyak darinya tentang bagaimana cara menggambar sesederhana puting beliung yang, kupikir sulit sekali membuat gambar seperti ini, eh ternyata gampang banget! Xixixixi.


Dari Reza juga, aku belajar bagaimana cara mencintai pekerjaan yang kulakukan. Nampaknya, memang tidak ada rasa kepuasan yang hakiki selain saat seseorang mencurahkan segala pikirannya pada sesuatu yang ia sukai~


Btw, terakhir saya dengar, ia tengah menggambar komik dengan alur cerita miliknya. DUH! Merinding saya rek dengernya.. Mulia sekali cita-citanya. Karena saya yakin, baik itu penulis cerita, skrip film, komikus atau bahkan mangaka sekalipun pasti memiliki tujuan mulia untuk menghibur para penikmat karya-karyanya.


Doakan, semoga cita-citanya –apapun itu— dikabulkan oleh Allah Swt. Aamiin.


Meski sebenarnya masih banyak lagi sosok inspirasi seniman bagi saya, tapi mungkin rasanya lebih elok jika hal tersebut diulas pada bagian selanjutnya dari #Refleksi2Dekade ini. (sebenernya biar kamu stay tune juga sih, hehe.)

~

Refleksi yang terakhir, adalah refleksi yang menyangkut mengenai amanah dan kekecewaan.


Ada pepatah yang bilang, amanah itu ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Sepertinya pepatah ini memang relevan dalam kaitannya dengan kerjasama dalam suatu organisasi. Namun, jika saat itu kamu diposisikan sebagai pengemban amanah yang sendirian dan memang tidak diperuntukan untuk saling berbagi beban, tentu pepatah tersebut menjadi tidak relevan. Pada akhirnya, amanah yang tidak tuntas ditunaikan akan berujung pada kekecewaan. Kecewa terhadap diri sendiri karena merasa gagal terhadap tanggung jawab yang harus diemban, dan tentunya, akan selalu ada orang lain yang kita kecewakan.  Dihadapkan pada dilema tersebut, apa yang akan kamu lakukan?


Menghilang memang merupakan suatu pilihan. Seiring berjalannya waktu, kita akan menyadari bahwa, “Time Solves Everything.”  Tapi sayangnya, bukan itu jawaban yang semestinya dilakukan. Karena akan selalu ada jua problematika yang tak bisa diselesaikan hanya dengan membiarkannya begitu saja. Kalau kata Haruki,”At what time can’t solve, you have to solve (by) yourself.” Dihadapkan pada problematika tersebut, apa yang sebaiknya dilakukan? Rasanya lirik lagu Utarakan karya Banda Neira merupakan jawaban yang tepat.


Walau tak semua tanya beserta jawab,

Dan tak semua harap terpenuhi,

Ketika bicara tak sesulit diam,

utarakan, utarakan, utarakan.

~

 

--

Merefleksi kisah selama menempuh pendidikan dasar, nampaknya aku  menyadari bahwa sedikit-banyak kisah-kisah yang kusampaikan tadi membentuk kepribadianku di masa depan melalui cara-cara yang sederhana. Aku juga menyadari bahwa pada beberapa kasus, caraku menghadapi problematika kehidupan justru terasa lebih dewasa dan matang saat aku masih mengenakan pakaian putih-merah daripada baju bebas berkerah. Kurasa, pada akhirnya refleksi perdana ini mengarah pada satu pertanyaan fundamental: Siapa yang mengira bahwa ternyata pendidikan sekolah dasar berperan sangat krusial bagi pengembangan kepribadian seseorang?



Bagian Kedua #RefleksiDuaDekade : Perdana #RefleksiDuaDekade

Bagian Ketiga #RefleksiDuaDekade : Momentum #RefleksiDuaDekade

Bagian Keempat #RefleksiDuaDekade : Pilihan #RefleksiDuaDekade

 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.