Hikmah di Penghujung Gerbong

 


Keputusan saya untuk bepergian ke manapun – termasuk pulang kampung – selalu saya putuskan pada Hari Jumat. Prokrastinasi telah menjadi bagian dari hidup saya, terutama pada beberapa hal yang memang tidak perlu pengambilan keputusan yang mendesak.

Kalau bisa pesan tiket nanti, kenapa harus sekarang? Toh saya juga tidak tahu apakah beberapa waktu lagi ada tugas atau agenda yang harus diselesaikan di akhir pekan. Yang pada akhirnya, menunda kepulangan saya ke kampung halaman.


            Sayangnya, sifat prokrastinasi tersebut tidak melulu dapat dibenarkan. Pada beberapa kesempatan, seringkali saya tidak jadi bepergian karena kehabisan tiket atau sekadar dihampiri dilema kala memilih jadi-tidaknya saya bepergian. Dalam kata lain, sekadar mengais – ngais alasan kenapa saya harus jadi bepergian. Hal ini tentu wajar, karena saya juga harus mempertimbangkan jarak dan durasi yang harus ditempuh setiap kali perjalanan yang cukup menyita waktu dan energi – meski sebenarnya hanya duduk manis saja. Hehe.


Anyway, saya memang bukan seorang bismania maupun railfan. Tapi urusan moda transportasi, saya selalu memilih moda transportasi mana yang lebih murah dan terjangkau dari tempat kediaman asal saya. Mengingat indekos saya berada di kawasan Senen, maka Stasiun Pasar Senen menjadi moda transportasi yang sering saya gunakan saat bepergian ke luar Jakarta.  Saya bersyukur hidup di era serba digital. Tinggal sat set sat set di HP, jadilah tiket tanpa harus capek – capek antre.

 


Menapak Bumi Semarang

Notifikasi HP tiba – tiba bergetar menandakan ada pesan Whatsapp masuk dari kawan lama saya ketika kuliah. UNDANGAN PERNIKAHAN ALDHIELA – begitu judul undangannya. Kabar yang membahagiakan, karena kawan saya akan melanggengkan pernikahan dengan kawan lama saya juga yang dulu berada dalam satu kelas yang sama. Senangnyaaa!


Menghadiri undangannya adalah suatu kewajiban. Saya memiliki utang budi yang sangat besar kepada beliau. Karena saat saya kecelakaan dulu, beliau adalah salah satu kawan yang rela jauh – jauh datang ke rumah demi menghibur saya – yang kemudian hal tersebut menjadi alasan saya membatalkan rencana cuti dari studi.


Alhamdulillahi ala ni’matil ukhuwwah.

 

Dihantui Dilema.

‘Menyederhanakan pikiran di tengah dunia yang kian kompleks’ nyatanya sangat sulit diterapkan. Di detik – detik akhir reservasi tiket kereta online pun, saya menghadapi dilema mengenai jadi-tidaknya saya berangkat. Padahal semuanya sudah terencana dengan baik. Penginapan, transportasi, packing dan lain sebagainya telah tersusun rapi. Hanya ‘keyakinan’ yang belum saya miliki. Hingga pada akhirnya, reservasi tiket ditutup bukan karena kehabisan, melainkan karena telah lewat batas waktu pemesanan. Menyesal? Banget. Jadilah hari itu saya mengutuk diri sendiri karena belum bisa berkompromi dengan dilema.


Selalu seperti itu. Banyak mikir, tapi ujung – ujungnya ga jadi.


Esok paginya, dilema tersebut masih saja menghampiri. Padahal acara nikah akan diselenggarakan pada malam harinya. Artinya? Tersisa sebelas jam! Dari Jakarta ke Semarang kira – kira memakan waktu sekitar tujuh jam. Belum beres-beres penginapan. Belum lagi asing di Kota Semarang. Haduh. Jantung tiba – tiba berdegup kencang. Selintas terpikir untuk mengurungkan niat. Tapi di saat yang bersamaan, pikiran tak karuan merayuku dengan :  Kapan lagi kamu bisa balas budi, Det?”


---

Nya sok di, kahade di jalan”

 Telefon dengan orangtuaku pagi itu membulatkan keputusanku untuk pergi meski satu jam sebelum keberangkatan. Meminta pendapat dan mengantongi restu orang tua selalu kulakukan untuk memantapkan keputusan. Kalau orang tua sudah merestui, jalan apapun yang ditempuh serasa lega. Saya tidak akan malu apabila disebut masih ketergantungan dengan orang tua. Saya justru malu apabila saya tidak melibatkan mereka pada keputusan yang saya ambil.


Sat set sat set. Kupesan kursi kereta ekonomi di penghujung gerbong.


Ikon oranye tanda kursi terisi cukup dominan mewarnai halaman pemesanan daripada ikon berwarna abu - abu – yang yang menandai kursi yang masih kosong. Tak apalah, hanya berdempetan bersama orang lain, toh tak ada salahnya juga. Daripada hidup dengan penuh penyesalan, lebih baik keputusan ini saya jalani dengan sebaik – baiknya, sejalan dengan  apa yang pernah diutarakan oleh Mark Twain :


“Twenty years from now, you’ll be more disappointed by the things that you didn’t do, than by the ones you did do”

---

 

Berangkat ke stasiun yang serba dadakan seringkali mendatangkan kecemasan. Sekadar khawatir apabila ada barang yang seharusnya kita bawa, eh malah ketinggalan di kosan. Tapi dahlah. Bissmillahirrahmanirrahim, all done! Kuminta teman kosan mengantarkan saya ke stasiun pemberangkatan. Sesampainya di sana, saya sesegera mungkin melaksanakan rapid test dan berjalan menuju penghujung gerbong.


Kaget bukan kepayang.


Dari kejauhan saya melihat wajah yang tak asing : MAHEN!

Kuusap – usap kembali kacamata yang ber-embun. Dilihat dari jauhpun, dia memang Mahendra Dicky Setyawan, temanku saat kuliah dulu. Sapa-enggak-sapa-enggak. Rasanya awkward bila menyapa secara tiba – tiba. Tapi jauh lebih awkward apabila saya tidak menyapa. Lha wong kursiku tepat sejajar dengan dia.

 

“Maheend!” sapaku terlebih dahulu

“Eh, Dete!”

“Loh ada Dito juga, Halo To, aku detee”

“Halooo deettt” balas Andito dengan penuh senyuman.

 

Satu lagi namanya Andito – Ketua angkatan STA ‘17. Saya dan Andito memang belum pernah berbicara secara langsung. Namun sebagai Ketua Angkatan STA’17, beliau pernah berurusan dengan saya, yang kala itu bertanggungjawab atas proyek video perpisahan angkatan.

 

“Aku kebetulan duduk di samping sana, tapi malah ditempatin cewek – cewek. Boleh nggak kalau aku duduk di sini?” tanyaku pada mereka

“Boleh banget Det, emang kosong kok.” Balas Mahen dan Andito secara bersamaan

“Makasih banyaaak! Eh emang kalian ini mau kemana?”

“Semarang Det”

“Lah, jangan – jangan mau ke nikahan Aldi juga?”

“Iya Det, kamu mau ke sana juga?”

“Emaang!”

 

Hahahahaha.

Benar – benar sebuah kebetulan. Saya yang mulanya berniat pergi sendirian karena tertinggal teman – teman yang berangkat duluan, eh atas takdir Allah, ujung – ujungnya juga berangkat bersama teman. Persis satu keberangkatan, satu gerbong paling belakang, dan satu kursi yang berjejeran. Jadilah saat itu kami menghabiskan waktu dan kesempatan dengan bercerita dalam tiga garis waktu. Masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Kembali mengenang kenangan saat masa kuliah, berkeluh kesah tentang dunia kerja yang tidak ada habisnya, hingga menerka – nerka umur pernikahan dalam rangka menyempurnakan separuh agama.


Kami bertiga saling bertutur cerita hingga perjalanan mengantarkan kami ke stasiun tujuan.


Dhiya - Mahend - Dito


Satu swafoto menutup perbincangan kami saat itu. Saya yang memang berniat untuk menjelajahi Kota Tua Semarang, lantas mengucapkan salam dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sembari mengabadikan kenangan melalui kamera DSLR untuk memotret Kota Tua yang ikonik beserta segala tetek-bengek aktivitas warganya. Meski sempat dirundung hujan, alhamdulillah menjelang maghrib bisa tiba di penginapan dengan aman.



Kota Tua Semarang


            --

            “Selamat yaa Aldi, Dile!”

            Satu persatu tamu undangan menyalami sang mempelai. Raut bahagia terpancar dari wajah mereka kala teman – temannya hadir dari Jakarta hingga Papua. Dari dosen hingga mahasiswa, semuanya menghadirkan kehangatan meski saat itu turun rintik hujan. Hingga purnama kian menjulang tinggi, kami masih saja sibuk ngemil sana – sini  mengulang memori dan mengabadikan kenangan dalam bingkai persaudaraan.


            “Det, itu Adam Arik gak sih? Panitia Mapres dulu?” bisik Khairani padaku.

            “Oh iya bener. Hayuk sapa, Ai!”


            Banyak wajah yang tak asing hadir di malam itu. Bersyukur dulu diberi kesempatan Allah atas raga dan ruh yang membuat saya bisa beraktivitas dengan optimal. Berteman dengan banyak orang dari kegiatan yang saya lakukan menjadi berkah tersendiri bukan hanya untuk saat itu saja, melainkan juga menjadi berkah untuk masa yang akan datang.


            “Jangan sungkan buat dateng ke Semarang lagi ya Det. Kalau kamu ke sini, pokoknya kabarin biar nanti bisa nginep di kosku.” Ucap Arik sembari memberi salam penutup kala saya hendak pulang ke penginapan.

            “Yah kalau tau kamu di sini, aku pasti bakal ngabarin dan pasti ikut nginep Rik! Btw, minta nomor WA buat kusimpan ya Rik.”

            “Boleh bangett, Det.”

 

Terima kasih ya, Rik. Ungkapanmu adalah wujud konkrit ucapanku yang dulu bersumpah bahwa menyambung tali persaudaraan berarti melancarkan rezeki. Sederhananya, jika suatu saat saya berkunjung kembali ke Semarang, maka saya enggak perlu lagi kerepotan mencari penginapan. Karena hanya dengan, “Halo Rik, aku di Semarang!”, maka dengan senang hati, Arik akan menunaikan janjinya untuk berbagi satu penginapan (:

 

--

      “Rencana mau kemana aja di Semarang?” sebuah pesan memecah kebuntuanku tentang ke mana lagi kaki ini harus melangkah.

      “Simpang lima, terus lanjut ke Sampokong, Museum Ronggo, dan Lawang Sewu kayaknya”                      

      “Sendiri?”

“Iya”
“Mau di temenin nggak ?”

“Boleh banget. Tapi kalau misal ada kerjaan lain enggak apa – apa Yir”

Enggak kok. Bisa libur kan tinggal dimatiin aja aplikasinya”

 

Adalah Ahmad Nayyir Mubarok. Teman SMA yang akan melanjutkan studi magister di Semarang pada Januari 2022 ini menawarkan saya untuk berkelana menapak Bumi Semarang. Mulanya saya khawatir akan merepotkan. Secara, Nayyir juga tengah mendulang rezeki dari jasa pengantaran makanan. Apalagi saat itu adalah akhir pekan. Tentu ia berpeluang mendapatkan rezeki lebih banyak dibanding hari biasa dari jasa yang ia tawarkan. Namun, kekhawatiran itu akhirnya terbantahkan kala ia menyebut bahwa ia justru senang bisa jalan – jalan.


Jadilah saat itu kami menjelajah Semarang dari timur, barat, hingga ke selatan.

Lawang Sewu


Lawang Sewu



Seniman di Lawang Sewu



Sam poo kong



Masjid Agung Jawa Tengah #Ekspedisi34MasjidNusantara




Kampusnya Nayyir



Nayyir

           

---

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, lalu ambillah yang tidak meragukanmu.” begitu titah Rasulullah Saw.


Dalam beberapa kesempatan, seringkali kita dirundung ragu kala dihadapkan pada beberapa pilihan. Dilematis silih menghampiri dan takkan kunjung sirna hingga kita memilih salah satu di antara pilihan itu. Setiap dari pilihan itu tentu memiliki risiko dan pengembalian. Kala bepergian, maka kita menghadapi risiko terkena penyakit yang menular. Namun, pengembalian justru bisa saja jauh lebih besar dari risiko yang kita temukan. Tersambungnya kembali tali persaudaraan adalah salah satu dari banyak pengembalian – yang pada akhirnya, menghadirkan kebahagiaan bagi setiap insan.


Ada sudut mati yang seringkali luput dari perhatian karena kita terlalu fokus semata pada hal – hal yang kita inginkan. Niatan awal saya untuk balas budi memang terlalu naif. Padahal menyambung tali persaudaraan jauh lebih arif. Kita terlalu memusingkan citra kita kepada sesama manusia. Tapi seringkali lupa tentang esensi yang jauh lebih penting daripada hanya sekadar menerka imaji.


Rasanya tepat bila saya sebut judul tulisan ini adalah hikmah di penghujung gerbong. Selalu terselip hikmah yang patut disyukuri dari setiap keputusan yang saya jalani – bahkan hingga di ujung lokasi maupun durasi. Di tempat saya berdiri, saya kian memahami bahwa hidup ini bukanlah sebuah ilusi. Semua hal terdefinisi termasuk penghujung gerbong kereta api yang tak pelak kehadirannya selalu menjadi atensi – setidaknya bagi kendaraan yang hendak melintas sesaat setelah palang pintu terangkat tinggi.









Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.